Di suatu Minggu yang tak lagi sendu

Cinta membawaku padanya. Sebuah rasa yang menjadikan kami memiliki asa. Tentang bersama dalam suka. Hingga duka menghinggapi dada. Gundah yang selalu dikalahkan indah. Meski ada sedih yang membuat pedih tapi angan selalu ada dalam genggaman. Dengannya aku tak pernah menyimpan tanya. Karena harap akan selalu terjawab. Hingga aku lupa rasanya sendu. Karena dia pembawa rindu.

Ratusan hingga ribuan hari telah dijalani. Ada banyak kisah yang membuat kasih semakin menjauhkan risih. Tertawa hingga tak menyadari bahwa kecewa bisa saja menghampiri. Mengingat sampai tak berpikir tentang melupakan. Hingga harapan telah menjadi buaian. Genggaman yang berujung melepaskan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menerima dengan penuh keikhlasan.

Membiarkan pergi yang sudah terlanjur di hati tak semudah mimpi. Apalagi ketika harus mengakui bahwa dia adalah inti yang tak lagi bisa dinanti. Melihatnya bercengkerama dengan Tuhan harusnya membuat diri semakin nyaman. Tapi nyatanya, hati semakin terperi. Dada bergemuruh riuh. Remuk redam karena lipatan tangan rapalan doanya dianggap berbeda dengan tengadah tanganku.


Aku dan dia hanya seorang pemeran. Yang bisa saja dihentikan perannya jika DIA tak mau lagi adanya kisah. Kami yang awalnya memaksa bersama akhirnya pun harus dipaksa tak lagi seirama. Menjadikan patah tanpa arah. Mencoba menyembunyikan air mata meski alirannya sudah semakin deras. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan. Selain menerima segala ketetapanNya. Mengakrabi hati yang patah. Sambil bersiap membidai apa yang telah tercerai berai. Doa yang sama masih akan terucap. Hingga dia menemukan masa depan yang bisa diajaknya bersimpuh padaNya dengan cara yang sama. Dan nantinya, aku pun bisa demikian. Dibersamakan dengan sosok yang membaca doa makan yang sama. Karena pada akhirnya, manik-manik tasbihku tetap berbeda dengan manik-manik rosarionya.

Komentar

Posting Komentar