Ada rasa sesak yang menghimpit. Ada rasa penat yang mengakar. Ada rasa
jemu yang merajam. Ada rasa ngilu yang menyiksa. Ada rasa pedih yang mengendap.
Kepercayaan yang disalahgunakan. Kesetiaan yang dipatahkan. Kenyamanan
yang dienyahkan. Kebahagiaan yang dirampas. Kehilangan yang datang hampir
bersamaan.
Tak mudah menjalani dua tahun terakhir ini. Hidup yang tak pernah terbayangkan
akan terjadi padaku. Menangis tersedu karena laki-laki yang pertama kali aku
lihat saat aku dilahirkan di dunia ini lebih memilih meninggalkan tiga berlian
yang selalu dia jaga demi sebutir batu tak bernilai. Merasakan hati yang
teramat patah setelah memutuskan untuk membiarkan sosok jangkung berhidung
pinokio dan berambut pirang itu mencari sosok wanita yang bisa melafalkan Doa
Bapa Kami bersama-sama dalam keluarga kecilnya kelak. Membuncahnya bahagia saat ada sesosok
laki-laki yang menawarkan masa depan tak lama setelah aku meminta padaNya akan
sosok yang seiman. Dan menjelang dua minggu kami menjadi pasangan halal, ternyata
dia juga memilih pergi, melupakan semua janji yang pernah terpatri,
menerbangkan semua harapan dan menghancurkan maket masa depan yang sudah
disusun bersama. Tak ada yang tersisa selain bualan-bualan omong kosongnya
tentang masa depan yang masih saja terngiang-ngiang dalam telingaku. Tak lama
berselang, dia bahkan telah mengucap janji suci dengan sosok lain yang dia
bilang adalah sosok ketiga perusak suasana. Tak sadarkan dia bahwa bibit
keburukannya akan berbuah hal yang sama di masa depan?
Aku layaknya seorang pesakitan yang membutuhkan udara bebas. Ingin
rasanya aku kembali merasakan mengalirnya oksigen secara leluasa dalam darahku
tanpa dihimpit sesak. Aku bahkan sudah lupa rasanya tertawa tanpa
kepura-puraan. Aku tak lagi tahu apa itu ceria tanpa beban. Tapi aku masih bisa
bernafas meski sesak, aku masih bisa berjalan meski terseok-seok dan aku masih sanggup
menyiram antiseptik untuk luka di sekujur tubuhku. Inikah mata air di tengah
gurun pasir? Inikah jalan buntu yang masih ada lubang tikusnya? Inikah putus
asa yang masih berharap?
Tak banyak yang bisa aku lakukan. Bercengkerama denganNya di sepertiga
malam terakhir menjadi obat penenang yang lebih dahsyat dibandingkan Alprazolam
dan Sernade yang pernah ku telan. Bersujud lebih lama dengan sedu sedan tangis
dan merayuNya untuk memberikan kekuatan tanpa batasNya lebih hebat daripada
diinjeksi dua ampul Neurobion. Meracau dengan kata dan bermain dengan rangkaian
huruf juga bisa menjadi teman baik yang tak akan menceramahiku, mencemoohku
atau bahkan mengabaikanku karena menganggap aku terlalu lemah dan tak bisa
beranjak dari sedihku.
Aku tak butuh cerita lucu untuk menghasilkan tawa dari bibirku. Aku
tak butuh keramaian yang bisa hilang ketika aku pulang. Aku tak ingin mendengar
kalimat “sudahlah untuk apa mengingatnya, segera lupakan semua yang telah
menyayat luka di tubuhmu”. Aku juga tak mau terus berpura-pura menjadi kuat.
Biarkan saja aku mencoba secara perlahan. Biarkan aku bersahabat
dengan waktu. Biarkan aku belajar sambil menjalani waktu tanpa terburu-buru.
Biarkan aku menemukan mental bajaku dengan caraku sendiri. Biarkan aku
menemukan kekuatanku meski harus menyentuh sumber lukaku. Jangan paksa aku
untuk menuntut waktu mempercepat sembuhnya lukaku.
Kemarilah sejenak. Bawakan aku kasa dan betadine untuk mengobati
lukaku. Siapkan aku pelukan terhangat saat aku menggigil kedinginan. Sediakan
aku payung saat aku basah kuyup terkena hujan. Sokonglah aku dari belakang.
Jadilah yang pertama menangkapku ketika aku terjatuh kembali di tengah
perjalananku menemui waktu. Dan pinjamkanlah bahumu untuk sejenak aku
merebahkan kepalaku yang terasa sangat berat ini.
Aku lelah.
Komentar
Posting Komentar