Aku!

Ada rasa sesak yang menghimpit. Ada rasa penat yang mengakar. Ada rasa jemu yang merajam. Ada rasa ngilu yang menyiksa. Ada rasa pedih yang mengendap.

Kepercayaan yang disalahgunakan. Kesetiaan yang dipatahkan. Kenyamanan yang dienyahkan. Kebahagiaan yang dirampas. Kehilangan yang datang hampir bersamaan.

Tak mudah menjalani dua tahun terakhir ini. Hidup yang tak pernah terbayangkan akan terjadi padaku. Menangis tersedu karena laki-laki yang pertama kali aku lihat saat aku dilahirkan di dunia ini lebih memilih meninggalkan tiga berlian yang selalu dia jaga demi sebutir batu tak bernilai. Merasakan hati yang teramat patah setelah memutuskan untuk membiarkan sosok jangkung berhidung pinokio dan berambut pirang itu mencari sosok wanita yang bisa melafalkan Doa Bapa Kami bersama-sama dalam keluarga kecilnya kelak.  Membuncahnya bahagia saat ada sesosok laki-laki yang menawarkan masa depan tak lama setelah aku meminta padaNya akan sosok yang seiman. Dan menjelang dua minggu kami menjadi pasangan halal, ternyata dia juga memilih pergi, melupakan semua janji yang pernah terpatri, menerbangkan semua harapan dan menghancurkan maket masa depan yang sudah disusun bersama. Tak ada yang tersisa selain bualan-bualan omong kosongnya tentang masa depan yang masih saja terngiang-ngiang dalam telingaku. Tak lama berselang, dia bahkan telah mengucap janji suci dengan sosok lain yang dia bilang adalah sosok ketiga perusak suasana. Tak sadarkan dia bahwa bibit keburukannya akan berbuah hal yang sama di masa depan?

Aku layaknya seorang pesakitan yang membutuhkan udara bebas. Ingin rasanya aku kembali merasakan mengalirnya oksigen secara leluasa dalam darahku tanpa dihimpit sesak. Aku bahkan sudah lupa rasanya tertawa tanpa kepura-puraan. Aku tak lagi tahu apa itu ceria tanpa beban. Tapi aku masih bisa bernafas meski sesak, aku masih bisa berjalan meski terseok-seok dan aku masih sanggup menyiram antiseptik untuk luka di sekujur tubuhku. Inikah mata air di tengah gurun pasir? Inikah jalan buntu yang masih ada lubang tikusnya? Inikah putus asa yang masih berharap?

Tak banyak yang bisa aku lakukan. Bercengkerama denganNya di sepertiga malam terakhir menjadi obat penenang yang lebih dahsyat dibandingkan Alprazolam dan Sernade yang pernah ku telan. Bersujud lebih lama dengan sedu sedan tangis dan merayuNya untuk memberikan kekuatan tanpa batasNya lebih hebat daripada diinjeksi dua ampul Neurobion. Meracau dengan kata dan bermain dengan rangkaian huruf juga bisa menjadi teman baik yang tak akan menceramahiku, mencemoohku atau bahkan mengabaikanku karena menganggap aku terlalu lemah dan tak bisa beranjak dari sedihku.

Aku tak butuh cerita lucu untuk menghasilkan tawa dari bibirku. Aku tak butuh keramaian yang bisa hilang ketika aku pulang. Aku tak ingin mendengar kalimat “sudahlah untuk apa mengingatnya, segera lupakan semua yang telah menyayat luka di tubuhmu”. Aku juga tak mau terus berpura-pura menjadi kuat.

Biarkan saja aku mencoba secara perlahan. Biarkan aku bersahabat dengan waktu. Biarkan aku belajar sambil menjalani waktu tanpa terburu-buru. Biarkan aku menemukan mental bajaku dengan caraku sendiri. Biarkan aku menemukan kekuatanku meski harus menyentuh sumber lukaku. Jangan paksa aku untuk menuntut waktu mempercepat sembuhnya lukaku.

Kemarilah sejenak. Bawakan aku kasa dan betadine untuk mengobati lukaku. Siapkan aku pelukan terhangat saat aku menggigil kedinginan. Sediakan aku payung saat aku basah kuyup terkena hujan. Sokonglah aku dari belakang. Jadilah yang pertama menangkapku ketika aku terjatuh kembali di tengah perjalananku menemui waktu. Dan pinjamkanlah bahumu untuk sejenak aku merebahkan kepalaku yang terasa sangat berat ini.

Aku lelah.

Komentar