Hai
Tujuh Belas Januari Dua Ribu Enam Belas. Akhirnya kita bertemu. Bertemu dalam
keadaan aku menyanding sebutir Alprazolam dan sebutir Serenade. Entah ini sudah
butir keberapa yang aku telan sejak 25 Desember 2015 lalu. Aku menangis lagi
hari ini. Aku bosan dengan butiran-butiran kecil yang harus aku telan setiap
malam. Aku lelah. Aku sudah berjanji, hari ini adalah hari terakhir aku menelan
butiran-butiran dari bungkusan ini. Dan aku harus memenuhi janjiku. Harus.
Hari
ini harusnya bukan dua butiran kecil ini yang aku genggam. Hari ini harusnya
aku tak menangis pilu sendiri. Hari ini harusnya aku tak tenggelam dalam
mimpiku. Hari ini harusnya aku tak berjuang melawan rasa sakit ini. Hari ini
harusnya aku tak berada di kota karang ini. Hari ini harusnya aku tak merasakan
dihempaskan sejauh ini. Hari ini harusnya, hari ini harusnya, dan hari ini
harusnya.
Aku
tahu, aku sangat tahu, sudah tak ada guna lagi aku meratapi semua yang terjadi.
Menyesali kesalahanku meletakkan kepercayaan, mimpi dan harapanku sepenuhnya
padamu. Semua tak akan pernah berubah. Ditangisi sehebat apapun juga toh hari
ini akan tetap datang. Dihindari sejauh apapun juga hari ini akan tetap aku
lalui.
Tujuh
Belas Januari Dua Ribu Enam Belas, aku menunggumu selama hampir 26 tahun. Aku
pikir, perjalananku bersama kekasih halalku akan aku mulai di hari ini. Aku
mendapatkan pelabuhan terakhirku pada sosok yang juga menggenggam tasbih dan
menengadahkan tangannya saat berdoa, bukan sosok yang menggenggam rosario dan
melipat tangannya saat berdoa. Aku berpikir semua bahagia itu akan berlangsung
hari ini. Tepat di hari ini.
Tapi
hari ini, tak ada ikrar suci itu. Tak ada sedu sedan tangis bahagia. Tak ada
aroma bunga-bunga segar. Tak ada helaan nafas lega setelah ijab qabul
diucapkan. Tak ada tatapan penuh syukur dari mata-mata itu. Tak ada pelukan
hangat. Tak ada ucapan selamat. Tak ada riuh tawa. Tak ada itu semua. Tak ada
pernikahan yang sudah kita rencanakan sejak Juli tahun 2015 lalu.
Hari
ini, dimanapun kamu berada, apapun yang sedang kamu lakukan, dan dengan
siapapun kamu menikmati tanggal Tujuh Belas Januari Dua Ribu Enam Belas ini,
berjanjilah satu hal. Bahwa kau tidak akan pernah melukai siapapun lagi seperti
yang kau lakukan padaku dan pada kami. Ini teramat sangat sakit. Kau perlu
tahu. Tidak mudah untuk tetap berdiri tegar menjawab setiap pertanyaan semua
orang yang mungkin saja hari ini hadir di rumahku karena mereka tidak mendengar
berita pembatalan pernikahan kita. Kau pasti tahu, siapa yang akan berdiri
tegar di rumahku untuk menjawab setiap pertanyaan itu. Dia adalah wanita yang
telah melahirkanku. Dan aku tidak bisa berada di sampingnya untuk
menemaninya menjawab setiap pertanyaan dari mereka yang datang ke rumahku
hari ini. Pernah terbersit dibenakmu tentang hal ini?
Berjanjilah.
Cukup sekali ini kau menjatuhkan harga diri seorang perempuan dan keluarganya.
Cukup sekali ini kau menawarkan masa depan tapi kemudian mundur tanpa sebuah
alasan dengan persiapan pernikahan yang sudah matang. Cukup sekali ini kau
membuat hampir semua orang mengeluarkan kata-kata kasar untuk mencacimu. Cukup
sekali ini kau membuat orangtuamu menangis dan menahan malu ketika mereka harus
datang membatalkan sebuah pernikahan yang kau inginkan sendiri. Cukup sekali
ini kau menyakiti tapi tak menyadari kalau kau menyakiti. Cukup sekali ini kau
tetap merasa benar setelah menginjak-injak perasaan seorang perempuan dan
keluarganya.
Aku
rasa kau pasti tahu, tak ada seorang ibu yang ikhlas anak gadisnya diperlakukan
serendah ini. Tak ada satu keluarga pun yang rela salah satu bagiannya
dihempaskan sejauh ini. Tak ada satu sahabat pun yang rela saudara tak
sedarahnya mengalami sakit hati yang teramat dalam. Tak ada satu orang pun yang
bisa menerima perlakuan sepengecut ini. Aku rasa kau pasti paham bahwa tak ada
siapapun yang merestui tindakanmu. Kalau kau penasaran bagaimana rasanya,
cobalah sejenak menjadi perempuan atau cobalah menyelami bagaimana rasanya
perempuan sepertiku, seperti ibuku, seperti mamahmu dan seperti adik
perempuanmu. Tak ada perempuan yang bisa menerima perlakuan seperti ini. Tak
ada.
Tapi
seburuk apapun perlakuanmu padaku dan pada kami, ada rasa terima kasih yang
ingin aku sampaikan. Terima kasih telah mengantarkanku pada mimpi Tujuh Belas
Januari Dua Ribu Enam Belas yang tak pernah terwujud sebuah pernikahan. Terima
kasih telah membuatku menyadari bahwa kamu memang tak layak untuk dijadikan
sandaran bagi masa depanku, ibuku dan adikku. Terima kasih telah memberikanku
kesempatan untuk mendapatkan sosok adam baru dengan segala keistimewaannya. Dan
yang terpenting, terima kasih karena telah mengajarkanku sebuah pengalaman
berharga yang bisa aku ceritakan pada anak laki-lakiku kelak dan aku bisa
mengajarkannya tentang sebuah tanggungjawab, komitmen dan konsisten sebagai
seorang laki-laki sejati.
Kalau
saja aku mau meminta, bisa saja aku meminta padaNya untuk memberikan keburukan
pada hidupmu. Bukankah doa orang teraniaya itu cepat dikabulkan? Tapi tenang
saja, aku tak mendoakan kau ditimpa keburukan. Hanya saja, kau perlu ingat,
bahwa tidak mungkin kita menuai bunga mawar yang harum jika kita menanam bibit
bunga bangkai. Itu saja.
Berdoalah
semoga bibit bunga bangkai yang kau tanam sekarang tidak membuatmu terlalu
mabuk, sempoyongan atau bahkan keracunan karena aroma menyengatnya
ketika bunga bangkai itu sudah mulai tumbuh di masa depan, cepat atau lambat.
Dan nikmatilah bahagiamu dengan pilihan bibit yang kau tanam sekarang.
Aku
juga akan menuai semuanya. Semua keindahan yang DIA janjikan, cepat atau
lambat, tapi pasti.
17 Januari 2016
by @valensia90
#valensia90 #cerita #cinta #patahhati #menikah #julianto #saputro #juliantosaputro #ijul #julikunto
Komentar
Posting Komentar