Melupakanmu itu bukanlah sebuah kewajiban tapi kepastian



Ceritaku memang masih tentangnya. Banyak yang menyampaikan padaku, "sudahlah, tak perlu lagi kau menulis tentangnya. Siapa dia sih sampai bisa meracuni otakmu seperti ini?". Bahkan ada yang bilang, "buang jauh-jauh dia. Meski kau bilang tak merindunya, tapi jika untaian kalimatmu masih berisi tentangnya, berarti kamu belum sepenuhnya melupakan dia. Lihatlah dia. Adakah dia merasakan kehilangan yang sama sepertimu?". 

Aku menyayanginya. Iya, sangat menyayangi dia. Aku sudah memberikan sebagian hatiku padanya. Aku sudah memberikan sepenuhnya percayaku padanya. Memang sekarang dia sudah pergi. Berlalu dengan membawa sebagian hatiku dan sepenuhnya percayaku. Tidak, bukan aku mengharapkannya kembali atau tak bisa menerima kenyataan dia sudah pergi untuk menjauh dari mimpi dan rencana yang sudah kami susun. Aku hanya ingin bilang, rasa sayang itu bukan tisu sekali pakai yang bisa di buang begitu saja apabila sudah selesai digunakan. Tapi hal ini juga bukan sebuah alasan bahwa aku akan terus tenggelam dalam kesedihan karena kehilangannya.

Bagi hampir semua orang, berusaha melupakan adalah salah satu cara mengobati kehilangan. Bagiku hal itu tidak berlaku. Ketika mataku bisa menatapnya tanpa sebuah rasa nyeri di dada, ketika aku merasa kuat meski ada bulir-bulir kristal bening jatuh dari pelupuk mataku dan ketika aku sudah terbiasa menjalani hari-hariku tanpa campur tangannya, bagiku itu adalah sebuah "kesembuhan" tanpa harus terpaksa menelan pil yang bernama "melupakan".

Aku tak akan pernah lupa segala hal tentangnya. Aku tak akan pernah lupa setiap detail bahagia yang pernah aku dapatkan ketika aku bersamanya. Aku tak akan pernah lupa tiap penggalan cerita kita. Aku tak akan pernah lupa bagaimana bentuk wajahnya. Aku tak akan pernah lupa siapa namanya. Aku tak akan pernah lupa sejauh apa perjalanan yang sudah aku tempuh bersamanya. Dan aku juga tak akan pernah lupa tiap nyeri yang sudah dia sentil ke hatiku. Itulah mengapa, aku tak akan pernah berusaha melupakannya. Dia akan tetap berada di hatiku. Di sebuah ruang di dalam hatiku, tempat dimana aku meletakkan hal-hal yang tak layak pakai.

Aku memang merasakan luka karenanya. Tapi aku tak akan pernah memaksa waktu untuk mempercepat kesembuhan lukaku. Tak ada yang ku kejar. Tak ada yang ku tunggu. Jadi untuk apa aku memburu waktu untuk mempercepat kesembuhan lukaku? Yang perlu aku lakukan sekarang, hanya bersahabat dengan waktu. Berjabat tangan dan mungkin sesekali bercengkerama dengan waktu. Aku hanya perlu belajar menjalani semuanya bersama waktu. Berdamai dengan waktu tanpa harus terlalu ikut arusnya.

Aku tak akan mati-matian untuk berusaha melupakannya. Berkata pada dunia, "hai, aku sudah melupakannya. Aku sudah berhasil mengeyahkan dia dari hatiku. Otakku sudah tak menyimpan memori apapun tentangnya". Aku tak akan memaksa diriku sendiri untuk melakukan itu. Aku tak akan menyiksa diriku sendiri dengan sebuah tuntutan untuk melupakannya. Aku tak akan takut untuk mengakui bahwa diam-diam dalam sujudku aku masih terisak tiap kali mengingat semua luka yang dia torehkan. Aku tak akan menggadaikan tiap penggalan cerita kita pada waktu. Aku juga tak akan menghanguskan kepada sesal tiap bahagia yang sudah kita pintal bersama.

Aku memang hidup di hari ini. Tapi aku juga bisa hidup di hari ini karena masa lalu. Aku sudah berjabat tangan dengan tiap sesi di masa laluku, baik yang manis sampai yang pahit. Jadi untuk apa aku harus menyiksa diriku untuk berusaha melupakannya? Bagiku, melupakan itu bukanlah sebuah kewajiban tapi kepastian. Kepastian yang tak di buru waktu. Karena waktu pasti akan datang untuk memenuhi tujuannya.

Julianto Saputro @julikunto and Yualeny Valensia @valensia90 Wedding Invitation


Story Of Us

Komentar